Selasa, 26 Agustus 2014

Relief Pertapaan Gunung Kawi Bebitra

Fungsi Relief di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra

Relief Wayang
Relief Wayang, dari penelusuran yang penulis lakukan tidak ada satupun informan yang mengetahui tokoh, fungsi ataupun mengapa relief tersebut ditempatkan di pertapaan ini, tapi menurut Darta peneliti sebelumnya relief Wayang tersebut tidak dapat dihubungkan dengan cerita Tantri. Namun dari segi gayanya menunjukan persamaan dengan relief Wayang yang terpahatkan pada badan meru tumpang sebelas di Pura Taman Sari Klungkung (Darta, 1986: 54). Untuk mengetahui fungsi dari relief Wayang tersebut maka saya melahkukan perbandingan dengan relief – relief pewayangan yang ada di candi – candi di Jawa Timur salah satunya adalah Candi Jago, candi ini merupakan candi yang diketahui sebagai makam maha raja Wisnuwardhana, dilihat dari arsitektur dan ragam hiasnya maka dapat diperkirakan candi ini berasal dari zaman Majapahit akhir tahun 1272 saka atau 1350 masehi. Relief cerita Pewayangan di candi ini terdapat pada cerita relief Parthayajna yang berceritakan tentang perjalanan Arjuna ke gunung Indrakila guna melatih diri lewat tapabrata agar memperoleh bantuan senjata dari dewa. Gunung Indrakila adalah tempat Arjuna bisa berjumpa dengan para dewa, tetapi harus melalui Rsi Dwipayana, mahaguru dalam ajaran dan praktek Sivadharma (Mulyadi, 2010: 17). 
      Jika dilihat dari keseluruhan penjelasan diatas dapat dikatakan penggambaran dan fungsi relief Pewayangan di Candi Jago adalah sebagai perwujudan dewa – dewa, para rsi ataupu Arjuna. Dilihat dari penggambaran relief cerita Parthayajna yang ada di Candi Jago hampir memiliki kesamaan bentuk dan ciri khasnya dengan relief Wayang yang ada di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra, jadi kemungkinan relief Wayang yang ada di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra di fungsikan sebagai pengambaran dewa – dewa, para rsi ataupun keluarga pandawa dilihat dari perbandingan dengan relief Pewayangan di Candi Jago.

Relief Garuda
relief Garuda yang ada di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra, menurut informasi yang didapat relief Garuda tersebut sebenarnya dulu adalah sebuah pertirtaan dimana dari mulutnya keluar air, ini mengingatkan tentang mitos dari cerita Sang Garuda yang termuat dalam kitab Adi Parwa, utnuk lebih jelasnya akan diceritakan sebai berikut.
            Cerita garuda ini berwal dari seorang Bhagawan yang bernama Kasyapa yang mempunyai dua orang istri, yaitu Sang kadru dan Sang Winata. Sang Kadru, berputrakan seribu ekor naga sedangkan Sang Winata berputra Sang Garuda dan Sang Aruna. Pada suatu ketika, kedua istri dari Bhagawan Kasyapa itu bercerita tentang Kuda Ucchaisrawa yang keluar dari pemutaran Gunung Madara Giri. Sang Kadru mengatakan kalau warna kuda itu hitam, sedangkan Sang Winata mengatakan kuda itu berwarna putih, karena terjadi perdebatan sehingga keduanya saling menaruh janji, siapa yang kalah akan menjadi budak dari yang menang. Sang Kadru bercerita kepada para naga tentang taruhan itu, mendengar cerita ibunya para naga memberitahu bahwa warna kuda tersebut adalah putih. Sang Kadru merasa kalah dalam pertaruhan itu karena salah menebak, dan seharusnya ia menjadi budak Sang Winata, akan tetapi berkata bantuan para naga yang menyemburkan bisa kepada Kuda Ucchaisrawa yang merubah warna kuda itu menjadi hitam. Akhirnya Sang Winata kalah dan harus menjadi budak Sang Kadru.
Setelah beberpa lama diperbudak oleh Sang Kadru, maka Sang Garuda anak dari Sang Winata dimohonkan mencari tirta amerta (air kehidupan) oleh para naga. Rupanya inilah syarat utama untuk membebaskan Sang Winata dari perbudakan Sang Kadru, konon tirta tersebut dapat menyebabkan seseorang bebas dari kematian. Akhirnya Sang Garuda mencari tirta amerta ke kahayangan sampai berperang dengan para dewa termasuk Dewa Wisnu, akhir dari peperangan itu tidak ada yang kalah dan menang, Dewa Wisnu pun mengadakan perjanjian dengan Sang Garuda, bahwa Sang Garuda boleh mendapatkan tirta amerta itu dengan catatan dia harus bersedia menjadi kendaraan dewa Wisnu dan sang Garuda pun mensetujuinya.
Setelah tirta amerta didapatkan oleh Sang Garuda yang kemudian diserahkan kepada para naga dengan syarat sebelum meminumnya mereka harus mandi terlebih dahulu, maka para naga saling berebut untuk mandi agar cepat dapat meminum tirta tersebut. Namun karena terlalu gembira, para naga lupa dan meningalkan tirta itu begitu saja, maka datamglah Dewa Wisnu untuk mengambil tirta itu kembali, akan tetapi karena terlalu tergesa-gesa sebagian tirta jatuh dan menimpa daun ilalang yang ada disekitarnya, konon itu yang menyebabkan lidah naga atau ular terbelah ujungnya, karena menjilat sisa-sisa tirta yang jatuh di daun ilalang tersebut. Pada akhirnya Sang Winata dapat dibebaskan dari perbudakan Sang Kadru oleh Sang Garuda (Widyatmanta, 1958: 62-63). Dapat dikatakan Fungsi dari relief Garuda adalah sebagai tempat pertirtaan

Relief Kalasungsang

Relief Kalasungsang. Kalasungsang sendiri digambarkan sebagai raksasa yang berjalan menggunanakan tangan, dalam mitologi Bali Kalasungsang juga disebut Banaspati. Kata kalasungsang sendiri dapat diartikan sungsang atau nyungsang yang dalam kamus Bali Indonesia diartikan terbalik. Sunsang yang diartikan terbalik, dan kala juga mempunyai beberapa arti salah satunya berarti raksasa terbalik. Secara jelas dapat dikatakan atau diterangkan terbalik disana adalah wujud fisiknya. Relief Kalasungsang adalah raksasa yang dipahatkan dalam proses terbalik, oleh masyarakat Kalasungsang sering pula disebut buta sungsang (Susilawati, 1994: 22).
 Penggambaran Kalasungsang adalah kaki dipahatkan diatas sedangkan kepala yang bermuka raksasa dengan gigi – gigi besar dan taring runcing, mata melotot dipahatkan dibawah, penggambaran bentuk seperti ini tentunya memiliki maksud-maksud tertentu, Fungsi dan tujuan pemahatan tokoh yang menakutkan dan mengerikan dikaitkan dengan tujuan reliegius magis dan sebagai simbol penolak bala dari hal negatif (Ambarawati, 2007: 7). Jadi dapat penulis simpulkan Fungsi dan tujuan dari pemahatan relief Kalasungsang di pertapaan ini adalah sebagai simbol penolak bala dari hal negatif dengan tujuan reliegius magis

 Relief Dwarapala

Pertapaan ini juga menyimpan tinggalan berupa dua relief Raksasa Dwarapala, ada tiga jenis Dwarapala yaitu berwujud raksasa, binatang dan manusia sedangkang yang terpahatkan dipertapaan ini adalah jenis berwujud raksasa. Relief dan arca Dwarapala biasanya ditempatkan di depan pintu masuk pura, pelinggih, candi, atau sebuah pertapaan. Untuk mengetahui fungsi dari relief Raksasa Dwarapala ini dilakukan perbandingan dengan arca Dwarapala di Pura Kebo Edan Pejeng. Di Pura Kebo Edan Pejeng terdapat arca Dwarapala yang berwujud raksasa dengan ciri – ciri seperti rambut kriting, mata melotot, mulut terbuka dengan taring, memakai hiasan tengkorak dan kain. Sikap berdiri dan kaki kanan agak diangkat keatas. Tangan kanan memegang gada dan tangan kiri memegang mangkok dari tengkorak.
Fungsi dari arca Dwarapala ini kemungkinan sebagai penjaga atau penolak bala dari hal negatif untuk Pura Kebo Edan mengingat wajah yang seram dan memegang senjata gada (Ambarawati, 1993: 48). Fungsi penempatan arca atau relief Raksasa Dwarapala dekat dengan kori agung atau dekat candi, tidak merupakan hiasan belaka melainkan mempunyai makna tertentu yang salah satunya adalah sebgai penjaga atau penolak bala dari hal negatif, dari tempat yang terdapat arca atau relief tersebut. Walaupun berada disatu tempat yang sama dengan relief Tantri yaitu Pertapaan Gunung Kawi Bebitra tapi relief Raksasa Dwarapala ini ini benar-benar tidak ada hubunganannya denga cerita Tantri, hal ini bisa juga dilihat dari fungsi relief yang berbeda, menurut informan dan perbandingan dengan arca Raksasa Dwarapala di Pura Kebo Edan Pejeng, relief Raksasa biasanya di fungsikan sebagai penjaga atau sebagai simbol penolak bala dari hal negatif. 


Relief Laki/Perempuan

Relief perwujudan manusia laki-laki dan perempuan yang terdapat di Pertapaaan Gunung Kawi Bebitra terletak disebelah selatan tepatnya sebelah timur ceruk pertapaan, dari penelusuran penulis tidak ada informan ataupun masyarakat sekitar yang mengetahui fungsi dan siapa yang terpahatkan di relief tersebut, informan Cuma mengetahui bahwa itu relief laki – laki dan perempuan. Relief tersebut memang tak kelihatan begitu jelas mukaknya, tapi jika diamati dengan seksama maka akan kelihatan mana yang laki-laki dan perempuan. Relief laki-laki sendiri dipahatkan disebelah utara dan yang perempuan dipahatkan disebelah selatan, Penggambaran tokoh manusia dalam bentuk relief biasanya memiliki tujuan-tujuan khusus. Tujuan tersebut bukan semata-mata berhubungan dengan seni dan keistimewaan tapi lebih cenderung pada kepentingan religius (Ambarawati, 2007: 7).
Agar mengetahui fungsi dari penggamabran relief laki-laki dan perempuan itu maka penulis melakukan perbandingan dengan arca Dwarapala yang berwujud manusia di Pura Batan Kelecung Pejeng, karena jenis Dwarapala tidak hanya berwujud raksasa melainkan ada yang berwujud manusia. arca Dwarapala yang berwujud manusia di Pura Batan Kelecung digambarkan dalam sikap duduk di atas lapik dengan lutut tertekuk keatas, tangan bersilang diletakan diatas lutut dan dagu menindih pergelang tangan. Hiasan lain yang masih dapat dikenali adalah anting – anting, ikat pinggang dan gelang kaki, fungsi dari arca ini masih simpang siur karena tidak ada yang mengetahui tempat asalnya, akan tetapi mengingat fungsi arca Dwarapala adalah sebgai penjaga kemungkinan arca Dwarapala di Pura Batan Kelecung sebagai penjaga pura tersebut (Ambarawati, 1993: 50).
Jadi dapat penulis katakan bahwa relief penggambaran manusia yaitu laki – laki dan perempuan di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra itu sebagai penjaga, karena dibandingkan dengan arca Dwarapala berwujud manusia di Pura Batan Kelecung Pejeng yang juga berfungsi sebagai penjaga, karena penggambaran Dwarapala tidak hanya berwujud seram seperti raksasa tapi ada juga yang berwujud seperti binatang dan manusia, jadi relief penggambaran manusia laki – laki dan perempuan di pertapaan ini kemungkinan berkaitan dengan konteks Dwarapala yaitu sebagai penjaga.

Relief Tantri

1. Fungsi Keagamaan
Menurut Darta (peneliti sebelumnya) mengatakan, cerita Tantri secara umum mengandung ajaran kerohanian yang tinggi yang dapat mengarahkan kejiwaan umat kepada kebenaran yang luhur (Darta, 1986: 52). Cerita Tantri dapat dijadikan cermin oleh orang yang mencari kebenaran. Cerita Tantri juga sarat dengan kandungan nilai-nilai moral dan budi pekerti serta dapat dijadikan cermin orang yang mencari kebenaran. Hal ini tetunya sangat sesuai dengan ajaran serta tujuan hidup Agama Hindu yang disebut Catur Parusa Artha yang meliputi dharma, artha, kama, dan moksa. Kata Dharma dapat diartikan sebagai kebajikan atau ajaran yang segala sesuatunya dapat mendukung orang mencapai kebenaran. Artha artinya benda-benda duniawi yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu, kama artinya keinginan atau hawa nafsu sedangkan moksa artinya melepaskan keduniawian. Jika dilihat dari keseluranhan cerita Tantri yang terdapat berupa cerita Anjing Sembada yang akhirnya mati kekenyangan akibat nafsunya yang sangat besar untuk menghancurkan persahabatan singa dan lembu, akan tetapi mendapatkan karmaphala berupa siksaan.   
Relief Tantri yang terpahatkan di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra selain mengandung ajaran-ajaran keagamaan dan kerohanian, tetapi juga berfungsi sebagai pembimbing moral atau tingkah laku dalam menjalankan hidup bagi para pengunjung dan masyarakat. Itu tercermin dari cerita yang disajikan.
2. Fungsi Estetika (keindahan)
            Segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan disebut estetika, nilai estetika berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindra dan berhubungan langsung dengan perasaan untuk menimbulkan suatu kepuasan bagi penikmat seni (Wiryani, 1987: 131). Seni bukan hanya gerak (tarian), suara (nyanyian) tetapi juga termasuk didalamnya terdapat seni pahat dan seni ukir yang ditempatkan sebagai pahatan pada dinding permanen berukuran besar (Kosasih, 1987: 16). Penempatan hiasan jenis-jenis binatang pada bangunan dan elemen-elemen penghias ruang yang menonjolkan bentuk-bentuk keindahan yang disempurnakan atau diabstrakan dengan variasi penampilan untuk keindahan kompesisi ekpresi dan keserasian (Glebet, 1986: 375).
Fungsi Estetika (keindahan) yang ada pada relief Tantri di pertapaan ini juga dapat dibandingkan dengan lukisan dilangit – langit Kerta Gosa, dimana  ditempat ini juga terdapat lukisan yang mengulas tentang cerita Tantri yaitu tentang persahabatan antara Lembu Nandaka dan Singa Pinggala. Menurut Sumastra peneliti Kerta Gosa, mengatakan lukisan – lukisan yang terdapat di Kerta Gosa dipakai sebagai hiasan pada plafon bangunan yang dilukis diatas permukaan eternit, pada mulanya lukisan Kerta Gosa itu dilukis diatas kain. Penggantian dari kain ke etenit dilakukan oleh pemerintah Belanda karena banyak dari lukisan tersebut telah aus dan rusak, maka dilakukan perbaikan dan diputuskan mengganti bahan lukisan dengan bahan yang lebih awet yaitu eternit, dalam perbaikan tersebut pelukis diharapkan membuat atau meniru lukisan yang ada sebelumnya. Selain digunakan sebagai hiasan lukisan tersebut juga difungsikan sebgai penambah nilai keindahan (Sumastra, 1993: 93-94).     
            Relief Tantri di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra merupakan salah satu relief di Bali yang mengambil tema cerita Tantri. Relief ini selain berfungsi sebagai dekoratif tapi juga berfungsi memberikan kesan estetika atau keindahan pada dinding yang dihiasi. Hal ini juga dapat dilihat dari perbandingan dengan lukisan Kerta Gosa yang lukisannya mengambil tema tentang Cerita Tantri salah satunya tentang persahabatan Lembu Nandaka dan Singa Pinggala, hal ini sangat mirib dengan apa yang di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra. Jadi dapat dikatakan relief Tantri di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra juga memiliki fungsi sebagai penghias atau menambah nilai keindahan di pertapaan tersebut. 


Nilai yang Terkandung Dalam Cerita Tantri di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra
             Nilai yang terkandung dalam cerita Tantri yang terpahatakan di Pertapaan Gunung kawi Bebitra adalah Nilai Kokoh. Nilai Kokoh berkaitan erat dengan sikap teguh dalam pendirian. Dimana diceritakan Lembu Nandaka sangat teguh pendirianya demi menjaga persahabatannya dengan Singa Pinggala, meskipun si Anjing Sembada telah berusaha semaksimal mungkin untuk memprovokasinya. Anjing Sembada justru menyalahgunakan sikap teguh Lembu Nandaka untuk memprovokasi Singa Pinggala dengan fitnahan-fitnahan. Anjing Sembada mengatakan bahwa Lembu Nandaka tetapa bersikukuh pada pendirianya tidak percaya dan tidak mau mengakui kesaktian Singa Pinggala sebelum mereka mengadu kesaktian. Karena doprovokasi atas dasar keteguhan hati itulah akhirnya Singa Pinggala berhasil dihasut dan kemudian bertarung kesaktian dengan Lembu Nandaka. Pada akhirnya keduanya tewas dan menjadi santapan Anjing Sembada.
 Namun, kematian Lembu Nandaka dan Singa Pinggala merupakan kematian yang didasari atas sikap teguh dalam pendirianya, kematian ini disebut kematian yang membawa kebahagiaan. Lembu Nandaka mencapai alam Dewa Siwa dan Singa Pinggala kembali ke alam Dewa Wisnu, sedangkan Anjing Sembada akhirnya mati kekenyangan akibat nafsunya yang besar menghancurkan persahabatan Lembu Nandaka dan Singa Pinggala, dalam kematianya Anjing Sembada mengalami siksaan setiap helai bulunya  (Suarka, 2011: 8-9). Dilihat dari pemaparan cerita diatas dapat dikatakan bahwa tokoh binatang dalam cerita Tantri yang terdapat di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra yaitu berupa Lembu dan Singa merupakan binatang suci yang berkaitan erat dengan dewa-dewa Agama Hindu, serta cerita tersebut juga menggambarkan hukum karmaphala (hasil perbuatan) dimana Anjing Sembada yang memprovokasi persahabatan Lembu Nandaka dan Singa Pinggala akhirnya mati dengan penuh siksaan.
  Semoga Bermanfaat salah kata mahap!!!!!!!